Selasa, 14 April 2015

Jurnal komunikasi non verbal siswa autis



PESAN  NON  VERBAL  SEBAGAI  CARA  KOMUNIKASI SISWA  AUTIS   DI  SLB  LOB  ABCDE  CIBIRU BANDUNG

Reza Rizkina Taufik
Program Studi IlmuKomunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas BSI, Bandung, Indonesia
E-mail : Rezarizkinat@yahoo.com


Abstract: Children with special needs such as autisme students often belittled and regarded as incapable to behave independently, to socialize and have problems in communicating. But with non verbal communication can help them to reveal what they want to tell. The focus of this research is will, ability, and obstruction students of SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung. This is a qualitative study using kinesic theories. Data was collected through interviews with educators in SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung and parents, as well as observation on students. We can conclude that autism gesture and touch more dominant used as communicate them.

Keywords: Communication, Non verbal, Autisme

Abstrak: Anak berkebutuhan khusus seperti autis sering di pandang sebelah mata karena di anggap tidak bisa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik. Akan tetapi dengan komunikasi non verbal dapat membantu mereka untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan. Fokus penelitian ini yaitu memahami komunikasi non verbal siswa autis di SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung sebagai cara berkomunikasi mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menggunakan teori Kinesik. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dengan pendidik di SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung dan orangtua siswa, kemudian melakukan observasi participant. Dari hasil penelitian tersebut dapat di simpulkan bahwa gerakan dan sentuhan siswa autis lebih dominan digunakan sebagai cara berkomunikasi mereka.

Kata Kunci: Komunikasi, Non Verbal, Autis.




PENDAHULUAN
Pada dasarnya komunikasi adalah bagian yang terpenting dalam hidup manusia, bahkan separuh komunikasi yang kita lakukan menggunakan komunikasi non verbal untuk menyampaikan isi pesan. Komunikasi non verbal merupakan komunikasi tanpa kata atau bahasa atau yang dikenal dengan istilah bahasa diam (Silent Language), fungsinya untuk melengkapi bahkan menggantikan komunikasi verbal, baik itu melalui ekspresi wajah, gerakan tangan dan sebagainya.
Komunikasi non verbal juga lebih dominan digunakan oleh anak autis dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Autis merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan seseorang yang menderitanya mengalami gangguan pada perkembangan kerja otaknya secara normal dalam kemampuan sosialitasnya dan juga kemampuannya dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Sebagian anak autis lainnya menggunakan bahasa tubuh orang lain sebagai petunjuk tambahan untuk membantu mereka belajar dan memahami kata.
Anak autis tidak bisa berkomunikasi secara normal seperti anak-anak normal pada lainnya disebabkan oleh Autisme Spectrum Disorder (ASD). Gangguan spektrum autisme yang merupakan gangguan dalam perkembangan dalam pertumbuhan manusia yang secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak tersebut. ASD yang dialami oleh anak autis berpengaruh pada cara mereka berkomunikasi, berinteraksi sosial, daya imajinasi, dan sikap yang merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu saraf. Adanya gangguan syaraf tersebut dapat mempengaruhi cara mereka dalam berperilaku dan berinteraksi, anak autis berperilaku tidak sewajarnya (aneh) tidak seperti anak normal lainnya.
Kesulitan dalam berkomunikasi inilah yang membuat anak autis cenderung menggunakan komunikasi non verbal untuk menyampaikan pesan kepasa lawan bicaranya. Namun terkadang komunikasi non verbal anak autis agak kurang dipahami oleh sebagian orang, sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman terhadap apa yang ingin disampaikan oleh anak tersebut.
Anak autis yang satu dengan anak autis yang lainnya juga memiliki sikap yang berbeda-beda. Setiap anak autis memiliki keunikan tersendiri. Perilaku non verbal yang biasanya sering diperlihatkan oleh anak autis diantaranya bertepuk tangan, mengepak-ngepak tangan, menyembunyikan tangan, menggoyang-goyangkan benda yang ada di sekitarnya, memukul kepala, menjambak rambut dan lain sebagainya. Anak autis mempunyai kemampuan yang menonjol di bidang visual sehinga mereka bisa dilatih untuk fokus terhadap sesuatu dalam bentuk visual.
Permasalahan yang sering muncul adalah ungkapan bahwa anak autis tidak bisa memahami apa yang dibicarakan ketika diajak berbicara. Anak autis juga tidak memiliki potensi dibandingkan anak normal pada umumnya dan perilaku aneh mereka yang memang ada secara alamiah juga membuat orang-orang menganggap anak autis sebelah mata dan bahkan tidak jarang juga yang mencibir mereka. Padahal jika kita dapat memahami kebiasaan-kebiasaan mereka dan mempunyai trik bagaimana mengajak anak autis untuk berkomunikasi tentu saja dapat menyanggah pernyataan mengenai anak autis sebelumnya.
            Sebagai sarana pendidikan bagi anak autis diadakannya sekolah luar biasa atau disingkat menjadi SLB. SLB tentunya merupakan wadah bagi mereka karena memberikan pelayanan pendidikan, pengajaran serta keterampilan bagi mereka agar bisa hidup di lingkungan masyarakat. Artinya dengan adanya sekolah luar biasa mereka diberikan kesempatan juga untuk mengenyam dunia pendidikan. Sekolah juga membantu orangtua dirumah dalam mendidik mereka melatih fokus dan bias menjadi seseorang yang mandiri meski mereka memiliki keterbatasan. Pendidik sangat berpegaruh besar terhadap perkembangan siswa autis di sekolah, sedangkan orangtua dan keluarga adalah pendidik dalam lingkungan rumah.
            Melihat kasus diatas, peneliti menilai bahwa anak autis juga layak diperlakukan sama seperti anak lainnya. Artinya, anak autis pun memiliki potensi yang bahkan bisa saja lebih disbanding anak normal, dan dengan penuh kesabaran mereka pun juga bisa diajak untuk berkomunikasi. Komunikasi non verbal yang anak autis gunakan itu juga adalah cara yang lebih efektif untuk mereka berkomunikasi sehingga mereka bisa menyampaikan pesan juga bisa memahami pesan yang disampaikan oleh orang lain.
I.       Komunikasi Verbal dan Non Verbal
Komunikasi secara ringkas merupakan proses penyampaian isi pesan atau informasi dari pengirim pesan ke penerima pesan. Ruang lingkup komunikasi begitu beragam dari segi bentuk, sifat, teknik, tujuan, sistem, bidang dan lain sebagainya. Fokus penelitian ini mengenai komunikasi non verbal sebagai cara penyampaian dan pemahaman pesan siswa autis di SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung. Siswa autis lebih dominan menggunakan komunikasi non verbal sebagai sifat komunikasinya, karena komunikasi siswa autis akan lebih efektif  menggunakan komunikasi non verbal.
Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak–gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu.Cara seperti ini disebut komunikasi non verbal.
Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah bentuk yang paling umum digunakan dalam kegiatan berkomunikasi sehari–hari. Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang mengunakan kata–kata atau simbol–simbol, baik dinyatakan secara oral atau lisan maupun secara tulisan. Melalui kata–kata tersebut, seseorang dapat menyampaikan atau menyatakan ide yang lengkap. Selain itu, melalui kata–kata pula seseorang juga dapat menyatakan perasaan serta pikiran kepada orang lain.
Komunikasi verbal dapat dibedakan atas komunikasi lisan dan tulisan. Komunikasi lisan merupakan suatu proses di mana seseorang pembicara (komunikator) berinteraksi secara lisan dengan pendengar (komunikan) untuk mempengaruhi perilaku komunikan. Bisa terjadi secara tatap muka atau melalui media seperti telepon, radio, dan lain–lain. Sedangkan komunikasi tulisan adalah suatu proses komunikasi yang menggunakan bantuan media perantara dalam penyampaian pesan nya, misalnya kertas, buku, gambar, memo, dan lain–lain.
Komunikasi verbal pada siswa autis memang terbatas, namun mereka harus selalu dilatih untuk berkomunikasi secara verbal juga karena dalam berinteraksi dengan yang lainnya tidak semua bisa memahami komunikasi yang menggunakan non verbal. Seperti yang dijelaskan diatas komunikasi verbal itu juga meliputi lisan dan tulisan, pada penelitian ini siswa autis selalu dilatih berkomunikasi secara lisan seperti berinteraksi dengan yang lain meski tidak dengan banyak kalimat, hal ini berguna untuk melatih berbicara mereka, juga sebagai perangsang mereka agar bisa melatih perasaan mereka seperti rasa simpati dan lainnya.
Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah pertukaran atau penyampaian pesan dengan tidak menggunakan kata–kata. Komunikasi nya menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, kontak mata, ekspresi wajah, kedekatan jarak dan sentuhan. Dengan adanya komunikasi non verbal ini, siswa autis dapat mengekspresikan perasaannya melalui ekspresi wajah dan nada atau suara. Ada beberapa gerakan tubuh siswa autis yang dapat dibuat sebagai signal dalam komunikasi non verbal mereka. Diantaranya signal komunikasi non verbal dalah yang berhubungan dengan suara manusia atau vokalik, gerakan badan seperti kepala, mata, tangan, kaki, sentuhan, sikap badan, penggunaan ruang atau jarak dan penggunaan waktu (Liliweri, 1997:71-80).
Knaab dan Tubs (Liliweri, 1994:107) mengungkapkan bahwa perspektif komunikasi non verbal merupakan suatu bagian dari komunikasi yang menyeluruh, tidak dapat dipisahkan, sejauh mana perilaku non verbal member dukungan bagi perilku verbal, yang berfungsi sebagai berikut: pertama, pengulangan (Repeating) merupakan komunikasi nin verbal yang sangat sederhana, malah lebih sederhana daripada komunikasi verbal. Kedua, yaitu kontradiksi (Contradicting) dimana perilaku non verbal bisa berbeda dengan perilaku verbal. Ketiga, Subtitusi (substituting) dimana perilaku non verbal dapat mengganti perilaku verbal.
Keempat, pelengkap (complementing), yaitu perilaku non verbal melengkapi pesan verbal. Kelima, membrikan tekanan (accenting), merupakan hal yang menekankan pada apa yang telah diucapkan. Selanjutnya keenam, relating atau regulating, meningkatkan hubungan yang sudah ada kemudian berusaha agar tetap mempertahankannya melalui keteraturan-keteraturan yang bersifat permanen.
Seperti yang dijelaskan pada bahasan komunikasi verbal sebelumnya, siswa autis bisa berkomunikasi secara verbal namun terbatas bahkan ada yang sama sekali tidak bisa menggunakan komunikasi verbal nya. Maka dari itu untuk menunjang mereka dalam berkomunikasi yaitu dengan menggunakan komunikasi secara non verbal, dapat digunakan dengan cara: 1.kontak mata (kesan sebagai orang yang terbuka, ramah, peduli dan dapat dipercaya), 2.ekspresi wajah (ekspresi gembira, sedih dan marah), 3.gerak tubuh (body language), 4.postur da posisi tubuh, 5. Kedekatan (proximity), dan 6. Vocal (nada suara(tinggi/rendah), ritme dan penekanan).
2.      Autis
            Seorang pakar kesehatan, Neil K. Kaneshiro, MD., MHA., menyebutkan bahwa "Autisme adalah sebuah kondisi fisik yang berhubungan dengan kelainan secara biologis dan kinerja otak seseorang." Penderita autis juga bisa disebabkan dari kombinasi gen dalam keluarga menyebabkan subtipe autisme. Vahan kimia atau obat-obatan yang masuk dalam tubuh ibu selama kehamilan berperan dalam gejala autism. Dalam beberapa kasus autism berkaitan dengan tingkat phenylketonuria gangguan metabolism yang disebabkan tidak adanya hormone tertentu), virus rubella dan penyakit celiac (tidak mampu menoleransi gluten dalam tepung).
            Meskipun sebenarnya penyakit autisme belum diketahui secara pasti apa penyebabnya, namun peneliti menilai autisme disebabkan oleh ketidaknormalan bagian otak yang menginterpretasi bahasa, ketidakseimbangan kimiawi otak mempengaruhi terjadinya gejala autisme juga mempengaruhi daya konsentrasi. Penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, factor genetic dan gangguan kekebalan
            Mendeteksi gejala autisme juga dapat dilakukan oleh orngtua sejak anak berusia tiga tahun, namun memang ada juga beberapa anak yang telah menunjukkan gejala-gejala autism nya semenjak lahir, dan ada juga yang tumbuh dengan normal saat lahir namun gejalanya mulai terlihat saat usianya 18-36 bulan. Autisme tidak memandang suku, etnis atau kondisi sosial lainnya seperti gaya pendapatan, gaya hidup atau tingkat pendidikan orangtua.
            Ada banyak sekali gejala-gejala penderita autism, diantaranya sulit bergabung dengan anak yang lain, tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri, jarang memainkan permainan khalayak, lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan dan tidak membentuk hubungan pribadi yang terbuka, terpaku pada benda tertentu yang terkadang tidak bisa diamati oleh anak normal seusianya, mudah bosan, secara fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif, tidak memberikan respon terhadap cara pengajaran yang normal, tidak takut akan bahaya, tidak memberikan respon terhadap kata-kata seolah tuli, mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya melalui kata-kata, lebih senang meminta melalui isyarat tangan atau menunjuk, temperamental yang tinggi namun juga ada yang tidak bisa mengungkapkan emosinya, dan masih banyak lagi.
            Tipe-tipe autism diantaraya: Gangguan Autistik, gejala ini sering diartikan orang saat mendengar kata autisme. Pederitanya memiliki masalah interaksi social, berkomunikasi, dan permainan imajinasi pada anak dibawah usia tiga tahun. Sindroma Asperger, anak yang menderita sindrom Asperger memiliki problem bahasa. Penderita sindroma ini cenderung memiliki intelegensi rata-rata atau lebih tinggi. Namun seperti halnya gangguan autistik, penderita kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi. Gangguan perkembangan menurun (PDD), gejala ini disebut juga non tipikal autism. Penderita memiliki gejala-gejala autism, namun berbeda dengan jenis autistik lainnya.
            Sindroma Rett, sindroma ini terjadi hanya pada anak perempuan. Mulanya anak tumbuh normal, pada usia satu hingga empat tahun, terjadi perubahan pola komunikasi dengan pengulangan gerakan tangan. Gangguan Disentegrasi Anak, pada gejala autisme ini anak tumbuh normal hingga tahun kedua. Selanjutnya anak akan kehilangan sebagian atau semua kemmpuan komunikasi dan keterampilan sosialnya.            Seorang anak penderita autisme memiliki tingkat kesensitifitasan yang melebihi dari manusia normal, khususnya indra penglihatannya, pendengaran, sentuhan, penciuman, ataupun rasa. Hal ini ditunjukkan ketika mereka merasa terganggu dengan suara berisik maka ia akan menutup kedua telinganya erat-erat. Mereka lebih menyenangi suatu hal yang itu-itu saja, penderita autism akan lebih focus pada suatu hal saja misalkan ia suka akan musik dan senang melakukan gerakan yang sama berulang kali, menunjukkan sesuatu ketertarikan yang berlebihan pada suatu objek tertentu.
3.      SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung
Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berdiri tahun 1978 dan berstatus swasta ini didirikan oleh yayasan Ortopeda Bandung yang memiliki kepedulian begitu tinggi terhadap Pendidikan Luar Biasa dipermerupakan singkatan dari Sekolah Luar Biasa Lembaga Ortopeda Bandung. Sekolah ini terdapat  SMALB. Sehingga nama lengkap sekolah ini adalah SLB LOB ABCDE Bandung yang beralamat di Jl. Manglayang 1 No.7 Cibiru, Bandung. Saat ini SLB LOB ABCDE Bandung memiliki 8 orang pendidik atau guru (termasuk kepala sekolah), 2 orang Pegawai Negeri yaitu Ibu Nok Fathonnah selaku Kepala Sekolah dan Ibu Yeti selaku Wakil Kepala Sekolah, dan keenam guru lainnya adalah guru honorer.
Sumber dana sekolah ini dari Dinas Sosial dan Pemda, tidak dipungut biaya SPP untuk siswa. Guru atau tenaga pendidik dibayar dengan sukarela sehingga memang pendidik yang mengajar di SLB ini mereka yang memiliki keikhlasan, sangat peduli terhadap anak–anak berkebutuhan khusus dan ingin membaktikan ilmu yang didapat sewaktu kuliah. Saat ini siswa terdaftar di SLB ini ada 44 orang dan siswa aktif ada 33 orang. SLB ini memiliki prestasi dalam mengikuti lomba futsal tingkat nasional, lomba menari dan lomba bocu tingkat nasional.
METODE  PENELITIAN
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Kualitatif adalah suatu metode penelitian yang bertujuan menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya dengan mengumpulkan data sedalam–dalamnya. Metode penelitian yang dilakukan secara intensif, partisipasi peneliti dalam waktu yang cukup lama dan mendalam. Penelitian ini juga di iringi dengan menggunakan metode studi kasus. Studi Kasus merupakan metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komperehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis.
Teori Kinesik Ray Birdwhistell
            Ray Birdwhistell mengungkapkan bahwa semua kejadian alam mempunyai arti dan makna tertentu. Sama seperti aspek-aspek perilaku manusia yang lain yang telah terpola, maka penampilan tubuh, gerakan tubuh dan anggota tubuh, pernyataan wajah juga merupakan suatu pola yang mempunyai regularitas sehingga dapat dijadikan sebagai objek penelitian yang dapat ditelaah secara sistematis.
            Setiap orang tahu bagaimana cara mengirimkan dan menerima berbagai pesan dalam komunikasi antarpribadi. Manusia memilih banyak cara dan saluran untuk menyampaikan dan menerima pesan dalam hubungan antarpribadi. Manusia telah memakai banyak saluran pengalih pesan antara lain melalui sensoris-sensoris tubuh, yang dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan manusia. Menurut dia, komunikasi non verbal merupakan suatu saluran secara tetap, yang pasti menusia selalu menggunakan lebih dari satu saluran untuk komunikasi antarpribadi.
            Kesimpulan yang diajukan Ray bahwa ada hubungan yang signifikan dan fungsional antara gerakan tubuh dengan berbagai bunyi ucapan dalam bahasa verbal. Akibatnya pemahaman terhadap struktur kinesik menjadi sangat luas dan mendalam, sama seperti kita memahami struktur kalimat dan paragraph dalam tata bahasa verbal. Orisinalitas studi tentang gerak gerik tubuh menunjukkan indikasi bahwa struktur kinesi manusia selalu parallel dengan struktur bahasa yang digunakan. Semua gekan kinesik, yaitu gerakan tubuh dan anggota tubuh dalam konteks non verbl merupakan representasi dari kata-kata dalam struktur bahasa verbal.
Dari konsep utama dalam teori kinesik yaitu bahwa semua gerakan dapat mengandung makna  memang sesuai dengan pembahasan pada penelitian ini. Siswa autis mengalami kesulitan dalam bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang lain juga kesulitan dalam menggunakan komunikasi verbalnya. Mereka lebih senring dan senang menyampaikan segala sesuatu yang ada dalam pikirannya melalui gerakan anggota tubuhnya, misalnya sering menggunakan telunjuk tangannya untuk menunjuk sesuatu yang ingin dia ambil atau sukai tanpa berbicara. Siswa autis yang pasif memang sulit mengungkapkan ekspresi dan emosinya namun dapat terlihat dari mata nya.
Kinesik dapat digunakan dalam tiga tingkatan, antara lain: 1)Prekinesik, merupakan studi psikologis dari aktifitas gerakan tubuh sebagai bagian dari kenyataan sosialnya, ini merupakan tanda pendahuluan untuk menganalisis perilaku komunikasi. 2)Mikrokinesik, merupakan studi tentang analisis unit-unit perilaku. 3)Kinesik Sosial, merupakan studi perilaku dalam konteks dan bangunan kinesi dalam kenyataan komunikasi
Sehingga kaitan nya teori kinesik dengan penelitian ini dikarenakan siswa autis lebih dominan menggunakan komunikasi non verbal daripada komunikasi verbal nya untuk menyampaikan dan menerima pesan. Namun komunikasi non verbal yang mereka gunakan terdapat makna yang merupakan pengganti dari komunikasi verbal nya,
Observasi
              Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi partisipan yang artinya peneliti juga berfungsi sebagai partisipan, ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan yang dilakukan objek yang diamati. Peneliti benar–benar terjun langsung tidak hanya mengamati namun juga ikut beraktivitas bahkan sampai mengajar siswa di SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung sehingga peneliti begitu memahami betul apa yang terjadi, memahami pola–pola dan interaksinya.
              Peneliti melakukan pengamatan terhadap perilaku siswa autis. Bahkan disini peneliti melakukan pengamatan tidak hanya menjadi pendidik saja, namun peneliti juga selalu bermain bersama mereka di sekolah, sehingga peneliti benar-benar mengamati bagaimana komunikasi yang dilakukan oleh siswa autis.
Wawancara
            Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara ini merupakan wawancara tatap muka antara responden. Di sini peneliti adalah instrument utama penelitian. Peneliti memberi kebebasan kepada informan dalam memberikan jawaban. Maka dari itu disini peneliti harus pandai-pandai menggali informasi dari informan agar bersedia memberikan jawaban-jawaban dengan lengkap, dan sebisa mungkin tidak ada yang disembunyikan. Caranya dengan mengusahakan wawancara berlangsung informal seperti sedang mengobrol.
            Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan guru-guru, orangtua siswa, siswa autis SLB LOB ABCDE itu sendiri. Sebenarnya yang menjadi fokus wawancara adalah siswa autis, namun karena kondisi siswa tunagrahita yang memiliki keterbatasan sehingga peneliti melakukan wawancara juga terhadap guru-guru yang memang mengetahui perkembangan siswanya setiap hari, agar data-data yang diperoleh memang sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dalam wawancara juga mengunakan alat bentu seperti kamera dan alat tulis sebagai dokumentasi. Sebagai uji kredibilitas data peneliti menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi waktu.
PEMBAHASAN
1.      Dimensi komunikasi non verbal siswa autis SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung
            Gerakan tubuh mendapat posisi lebih tinggi sebagai cara yang paling sering digunakan siswa autis dalam berkomunikasi. Terutama untuk siswa autis jenis aktif, mereka selalu lincah dalam menggerakkan tubuhnya bahkan tidak bisa diam namun gerakan tubuh itulah sebenarnya mengandung makna mengenai dirinya. Misalnya, ada seorang siswa autis yang hyper aktif tidak pernah merasa lelah dan cenderung melakukan gerakan-gerakan yang berulang-ulang dan makna dari gerakan yang terus di ulang-ulang itu bisa diartikan bahwa ia ingin bermain dan tidak ingin di acuhkan. Sebenarnya jika kita perhatikan tidak bisa diam nya mera atau bahkan sangat diam nya mereka, itu justru suatu ungkapan dari siswa autis bahwwa dirinya ingin diperhatikan dan ingin mendapatkan perhatian yang lebih.
            Perilaku aneh yang siswa autis munculkan memang merupakan ciri khas dari mereka karena tidak adanya keseimbangan otak pada diri mereka. Gerakan tubuh merupakan dimensi komunikasi non verbal pada siswa autis karena memang menjadi hal yang tidak bisa dipsahkan lagi antara siswa autis dan perilaku non verbal.
            Penelitian ini menggunakan teori kinesik karena perilaku komunikasi siswa autis sama dengan apa yang dikemukakan oleh Ray L.Birdwhistell bahwa setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala, kaki,dan bahkan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik. Karena kita hidup, senantiasa badan kita bergerak. Komunikasi non verbal pada siswa autis SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung lebih dominan pada gerakan tubuh dan sentuhan (haptika).

Gambar 4.1 kerangka konseptual perilaku komunikasi
siswa autis SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung

                Dari kerangka konseptual diatas menjelaskan bahwa siswa autis di SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung menggunakan komunikasi non verbal sebagai penunjang penyampaian dan penerimaan pesan komunikasi nya. Sebagian dari siswa autis memang bisa juga menggunakan komunikasi verbal nya, namun meskipun mereka dapat menggunakan komunikasi verbalnya, terkadang juga kita kurang bisa untuk memahami apa yang disampaikannya, sehingga komunikasi non verbal ini menjadi penunjang dan mempermudah memahami pesan komunikasi nya meski terkadang mereka menggunakan komunikasi non verbal yang aneh-aneh. Komunikasi non verbal yang digunakan lebih dominan menggunakan gerakan tubuh dan haptika (sentuhan). Ekspresi wajah, kontak mata dan isyarat tangan juga digunakan tetapi tidak terlalu diperlihatkan kerana mereka cenderung tidak bisa berekspresi dan menghindari kontak mata dengan orang lain atau lawan bicaranya.

2.      Makna komunikasi non verbal siswa autis SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung
            Komunikasi non verbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Berbagai macam perilaku komunikasi non verbal yang diperlihatkan oleh ketujuh anak tersebut telah memiliki makna tersendiri.
            Pemaknaan perilaku dari kelima anak tersebut dapat diketahui dari melihat perilaku yang mereka timbulkan melalui gerakan dari setiap anggota tubuhnya melalui ekspresi wajah, kontak mata, gerakan tubuh, isyarat tangan dan sentuhan yang lebih dikenal dengan kinesik. Setiap perilaku yang diperlihatkan memiliki arti sendiri, berikut pemaparannya:
a.   Adrian
            Adrian merupakan siswa autis yang masih belum bicara hanya bisa mengatakan satu dua kata, tergolong kedalam autis ganda dan hyperaktif. Pemaknaan pada perilaku komunikasi non verbal pada Adrian, sebagai berikut:
            Perilaku komunikasi non verbal tersenyum (menandakan dia sedang merasa kenyang, dan senang karena merasa nyaman dikelas), meraung-raung (menandakan dia sedang merasa sakit pada badannya, merasa lapar,  merasa bosan, merasa marah karena diacuhkan oleh orang lain), mengeluarkan air mata (menandakan dia ingin keluar kelas, ingin sesuatu, ingin buang air kecil dan buang air besar, merasa kesal), ketawa-ketawa (menandakan dia sedang merasa senang, merasa kenyang, merasa asik dengan permainannya, merasa diperhatikan), mencubit, memukul dan menjambak rambut orang lain (menandakan dia ingin bermain, ingin diperhatikan, ingin diajak bicara, merasa kesal dan merasa senang dengan lawan bicaranya), mengambil barang yang ada disekitarnya kemudian membuangnya (menandakan dia sedang merasa kesal, merasa senang, sedang ingin bermain, ingin diperhatikan), mendorong-dorong lemari (menandakan dia ingin sesuati, ingin bermain, merasa lapar), menjatuhkan badan nya ke lantai (menandakan dia sedang merasa senang dengan permainannya, ingin mengulang lagi permaianannya, merasa nyaman dengan lawan bicara atau bermainnya),  selalu menungging (menandakan dia ingin bermain, dia ingin berkenalan, merasa diperhatikan).
b.   Tia
            Tia merupakan siswa autis yang bisa bicara namun sangat terbatas dan senang mengulang kata-kata yang ia sudah ucapkan. Pemaknaan pada perilaku komunikasi non verbal pada Tia, sebagai berikut:
            Perilaku komunikasi non verbal tersenyum (menandakan dia nyaman, merasa senang, merasa kenyang), menangis (menandakan dia merasa lapar, merasa bosan, merasa kesal, dan ada yang dirasa sakit), teriak-teriak (menandakan dia marah, merasa ada yang sakit, merasa lapar, merasa bosan), diam (menandakan ingin buang air kecil dan buang air besar, merasa kenyang), sering menguap (menandakan dia sering merasa ngantuk), memukul dan menjambak rambut orang lain (menandakan dia ingin mengajak bermain, merasa senang, ingin diajak bicara), menatap mata (menandakan
c.    Zahra
            Zahra merupakan siswa autis yang hyperaktif, ia bisa berbicara dan bisa dengan cepat menghapal kata-kata, Zahra adalah siswa autis yang tergolong  pintar namun memang sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Pemaknaan  pada perilaku komunikasi non verbal pada Zahra, sebagai berikut:
            Perilaku komunikasi non verbal tersenyum (menandakan dia sedang merasa senang), menendang dan memuukul (menandakan dia sednag merasa suka terhadap seseorang namun memang tidak tahu harus seperti apa mengungkapkannya), menangis histeris (menndakan dia sedang merasa sedih), menggunakan tangan orang lain (menandakan dia sedang ingin sesuatu), tertawa terbahak-bahak (menandakan dia sedang asik dengan permainannya), lari kesana kesini (menandakan dia sedang ingin mencari perhatian), menguap (menandakan dia sedang bosan dan mengantuk), mendorong orang lain (menandakan dia sedang merasa cemburu).
d.      Naufal
            Naufal merupakan siswa autis yang  cenderung pasif, ia mengalami kesulitan dalam berbicara dan sulit belajar. Pemaknaan  pada perilaku komunikasi non verbal pada Naufal, sebagai berikut:
            Perilaku komunikasi non verbal tersenyum (menandakan dia ingin diperhatikan), mengamuk (menandakan dia sedang merasa tidak nyaman, merasa takut, merasa tidak ingin bermain), melempar-lempar barang (menandakan dia sedang asik dengan permainannya), diam (menandakan dia sedang ingin buang air kecil dan buang air besar), menangis (menandakan dia sedang tidak mau diganggu).
e.       Rofi
            Rofi merupakan siswa autis yang sangat pasif, ia juga tidak bisa bicara. Pemaknaan  pada perilaku komunikasi non verbal pada Rofi, sebagai berikut:
Perilaku komunikasi non verbal tersenyum (menandakan dia ingin bermain), lari-lari (menandakan dia sedang merasa lapar), mendorong-dorong orang lain (menandakan dia sedang tidak ingin diganggu), melempar batu (menandakan dia ingin bermain dan diperhatikan), menjilat tangan (menandakan dia merasa suka terhadap sesuatu atau orang lain).
            Dari kelima siswa autis SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung, penliti menilai bahwa ada keberagaman karakter siswa autis yang satu dengan siswa autis yang lainnya. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dari perilaku komunikasi mereka dan pemaknaan komunikasi nya yang berbeda-beda. Artinya, tidak semua perilaku komunikasi yang sama pada siswa autis memiliki makna yang sama pula dengan siswa autis yang lainnya. Sehingga jenis atau tipe-tipe pada siswa autis ini juga berbeda-beda ada yang termasuk autis aktif, autis pasif, autis hyperaktif dan autis ganda. Sehingga peneliti  mengkaitkan penelitian  ini dengan teori kinesik Ray L.Birdwhistell karena atas asumsi dasar yang mengungkapkan bahwa setiap gerakan dari tubuh kita bisa mengandung makna.
Simpulan dan Saran
Simpulan
            Berdasarkan penelitian mengenai non verbal sebagai cara komunikasi siswa autis SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung, peneliti menyimpulkan bahwa:
Siswa autis yang mengalami gangguan dalam komunikasi verbal dan  interaksi dengan orang lain ternyata dapat memperlihatkan komunikasi non verbal nya sebagai cara berkomunikasi mereka dalam penyampaian dan penerimaan pesan. Perilaku komunikasi non verbal siswa autis di SLB LOB ABCDE Cibiru Bandung lebih dominan menggunakan gerakan tubuh dan sentuhan. Komunikasi non verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah dan  isyarat tangan juga mereka gunakan tetapi tidak terlalu sering.
            Makna komunikasi non verbal siswa autis yang satu dengan yang lainnya sangatlah beragam. Misalnya, tidak semua perilaku komunikasi non verbal siswa autis seperti menendang mempunyai arti siswa itu sedang menyukai lawan jenisnya, bisa saja makna menendang dari siswa autis yang lainnya adalah sebagai bentuk ungkapan bahwa dia sedang merasa lapar.
Saran
            Berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan, maka terdapat saran yang ingin disampaikan oleh peneliti, yaitu:
            Mengenai tipe siswa autis yang beragam misalnya ada yang aktif, pasif, hyperaktif dan autis ganda, akan mengakibatkan perilaku komunikasi non verbal yang berbeda pula makna nya. Oleh karena itu, untuk para pendidik di SLB lebih ditingkatkan lagi pemahaman mengenai perilaku komunikasi mereka karena dengan beragam tipe itu, pendidik pun harus mempunyai cara yang berbeda untuk menghadapi mereka. Hal ini penting agar tidak terjadinya kesalahpahaman pemaknaan perilaku komunikasi non verbal dari siswa autis.
            Siswa difabel khususnya autis tidak seharusnya dijauhi atau mendapat diskriminasi karena keterbatasannya. tapi beri mereka kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi meskipun melalui komunikasi non verbal. Semoga dengan adanya penelitian ini dapat mengubah pandangan masyarakat mengenai kaum difabel yang sering di pandang tidak bisa melakukan apa-apa dan mengalami hambatan dalam komunikasi menjadi peka atau lebih sadar lagi terhadap kehadiran mereka. Karena apda dasarnya semua manusia yang di ciptakan baik manusia normal maupun yang memiliki keterbatasan juga memiliki hak yang sama.
REFERENSI
[1] Borg, James. 2009. Buku Pintar Membaca Bahasa Tubuh. Jogjakarta: DIVA Press.
[2] Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.
[3] Effendy, Onong Uchjana. 2002. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:  Rosdakarya.
[4] Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
[5] Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal dan Non Verbal. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
[6] Navarro, Joe & Marvins Karlins. 2012. Cara Mudah Membaca Bahasa Tubuh.  Jogjakarta: IMPERIUM.
[7]  Prasetyono, D.S. 2008. Serba Serbi Anak Autis. Jogjakarta: DIVA Press.
[8]  Rakhmat, Jalaludin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
[9]  Setiawan, Toni & David. 2008. Bahasa Tubuh Supermudah. Jogjakarta: Imege Press.
[10] Soelaeman, M. Munandar. 1993. Ilmu Sosial Dasar; Teori dan Konsep Dasar Ilmu Sosial. Bandung: Eresco.
Sumber internet:
http://atom-studios.







jurnal etnografi komunikasi di pernikahan adat batak toba



ETNOGRAFI KOMUNIKASI PADA PROSESI MANGULOSI DALAM PERNIKAHAN BUDAYA ADAT BATAK TOBA

Destien Mistavakia Sirait
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas BSI, Bandung, Indonesia



Abstract : Ulos as an important thing in Batak marriage, so the focus of this research is the mangulosi process (ulos pinning) in Batak Toba marital culture, in the process of mangulosi, there’s a values and belief that contained in it. The genre of this research is a qualitative with ethnography study which made the writer should do the research deeper with observation and an in depth interview. The paradigm that used in this research is constructivism paradigm that is inspected with face negotiation theory. The result of this research is that the mangulosi process in batak toba marital culture is happened by the communication behavior of batak peoples, the pattern of the communication is bound to the communication situation, communication event, communication setting, communication message and language variety whom being used in that cultural process. The values that contained in mangulosi process resulting the differences of the batak people behavior toward their peoples who married following the culture and not through the face negotiation theory, and the belief that contained behind the values that happened in every mangulosi process, whether the one in ulos sheet or in all of the communication process that occurred on batak toba marriage culture.
Keyword : Marriage, Mangulosi, Batak Culture, Communication Pattern.

Abstrak :Ulos sebagai hal penting dalam suku Batak, sehingga fokus penelitian ini adalah prosesi mangulosi (penyematan ulos) dalam pernikahan adat Batak Toba, dari proses mangulosi tersebut, muncul nilai-nilai serta keyakinan yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan studi etnografi yang mengharuskan peneliti meneliti lebih dalam dengan cara observasi dan wawancara mendalam, paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme yang dikaji dengan teori face negotiation atau teori negosiasi wajah. Hasil penelitian ini adalah terjadinya prosesi mangulosi dalam pernikahan adat batak yang dihasilkan dari pola perilaku komunikasi oleh masyarakat batak, pola komunikasi tersebut terkait dengan situasi komunikasi, peristiwa komunikasi, setting komunikasi, pesan komunikasi dan varietas bahasa yang digunakan dalam prosesi adat tersebut. Nilai yang terkandung pada setiap prosesi mangulosi menghasilkan perbedaan perilaku masyarakat batak terhadap orang yang telah menikah secara adat dan orang yang tidak menikah secara adat lewat teori negosiasi wajah (face negotiation theory), serta keyakinan yang terkandung dibalik nilai-nilai yang terjadi pada setiap prosesi mangulosi, baik nilai terhadap kain ulos maupun terhadap seluruh rangkaian peristiwa komunikasi yang terjadi pada pernikahan adat batak Toba.

Kata kunci: Pernikahan, Mangulosi, Budaya Adat Batak, Pola Komunikasi



PENDAHULUAN
Pesta pernikahan adat Batak identik dengan kain Ulos yang memiliki peran penting pada prosesi pernikahan, serta memiliki makna yang sangat mendalam bagi kedua belah pihak keluarga yang mengadakan pesta adat tersebut.Mangulosi atau dalam bahasa Indonesia berarti “menyematkan Ulos”, adalah salah satu ritual pemberian Ulosterhadap pengantin. Pemberian Ulospada dasarnya haruslah dilakukan pada orang-orang yang telah menikah secara adat Batak pula, dalam prosesi mangulosi ini, ada yang disebut hula-hula yaitu Tulang/Pamanataupun Bapak Tua (dari pihak keluarga wanita) yang wajib memberikan Ulostersebut untuk disematkan kepada kedua mempelai pernikahan. Ulos dalam pernikahan adat Batak Toba merupakan perlengkapan yang wajib ada, dan mangulosi adalah bagian penting dalam pelaksanaan upacara adat pernikahan yang tidak dapat dipisahkan dari suku Batak.
Pada zaman dahulu orang Batak pantang atau tabu apabila menikah dengan tidak disertai adat istiadat, hal itu disebabkan karena mereka mengetahui adat istiadat yang begitu kental, serta mereka begitu menghormati leluhur mereka yang telah membuat budaya dan adat istiadat Batak. Ketika perubahan zaman itu
terjadi, budaya semakin memudar dan kain Ulos-pun tidak disampaikan hingga anak cucu
dikarenakan banyaknya orang Batak yang sudah memudarkan adat istiadat pernikahan batak, memudarnya adat istiadat tersebut tidak hanya karena orang batak yang sudah tidak lagi merespon dengan baik suatu adat, melainkan oleh karena kepercayaan-kepercayaan tertentu, misalnya karena kepercayaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, membuat beberapa orang batak tidak lagi meyakini prosesi mangulosi dalam pernikahan adat batak yang dahulu sangat kental dengan persembahan roh-roh leluhurnya, namun di balik semuanya itu masih banyak orang Batak yang percaya kepada Tuhan, namun mereka tetap menghormati adat istiadat dalam prosesi mangulosi di pernikahan adat Batak dengan cara mempercayai bahwa Tuhan-lah yang memberikan berkat, bukan roh leluhur melalui kain ulos tersebut.
Acara adat dalam prosesi pernikahan pada suku Batak memang terkadang menjadi batu sandungan bagi pasangan batak yang tidak menikah tanpa melalui prosesi adat, hal itu terkadang dapat dimaklumi oleh beberapa orang, namun mereka menjadi merasa tidak mempunyai andil apa-apa saat saudaranya menikah dengan adat batak sementara mereka hanya duduk diam saja menonton di kursi tamu. Memang suatu adat tidak dapat sembarangan diubah, karena hal itu adalah suatu perilaku yang telah diturunkan dari nenek moyang kita hingga saat ini.Namun akhir-akhir ini atau pada jaman modern seperti sekarang, banyak ditemukannya orang yang belum menikah secara adat, namun dapat mengikuti acara pernikahan adat saudaranya baik satu marga atau berbeda marga.Hal inilah yang menjadi bagian dari ‘memudarnya keaslian budaya’ yang seharusnya terlestarikan dengan utuh.
Usaha untuk membangun ritus perkawinan Batak Toba tidak dapat dipisahkan dari usaha menggali nilai-nilai dan keyakinan yang terkandung dalam ritus perkawinan adat Batak Toba itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa usaha ini tak akan tercapai tanpa adanya sebuah dialog antara kedua belah pihak keluarga yang akan saling melangsungkan pernikahan adat batak yang tentunya berbeda marga. Komunikasi yang berlangsung selama prosesi perkawinan adat Batak tersebut-pun memiliki dua bagian, yakni komunikasi dua arah, yaitu komunikasi yang terjalin antara sesama Raja Parhata (pemimpin adat) dari pihak keluarga pria dan dari pihak keluarga wanita, serta komunikasi satu arah, yaitu dari pemimpin rombongan keluarga yang hendak mangulosi (menyematkan ulos) kepada kedua mempelai pernikahan. Komunikasi tersebut terjadi agar seluruh proses adat mangulosi berjalan dengan baik, dan seluruh komunikasi tersebut dapat meghasilkan makna dan nilai tersendiri bagi masyarakat batak khususnya bagi kedua mempelai.
Komunikasi sangatlah penting bagi semua aspek kehidupan manusia, terutama dalam hal membicarakan suatu pernikahan adat Batak Toba ini, dengan komunikasi manusia dapat mengekspresikan perasaan, gagasan, dan harapan kepada sesama manusia yang diajak berkomunikasi tersebut. Komunikasi tidak hanya mendorong perkembangan kemanusiaan yang utuh, namun juga menciptakan hubungan sosial yang sangat diperlukan dalam kelompok sosial apapun. Komunikasi memungkinkan terjadinya kerja sama sosial, membuat kesepakatan-kesepakatan penting, dan lain-lain. Individu  yang terlibat dalam proses komunikasi memiliki latar belakang sosial, budaya dan pengalaman psikologis yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang dapat mempengaruhi efektifitas sebuah proses komunikasi. Sangat penting bagi setiap individu untuk memahami simbol-simbol yang digunakan dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih.

METODE PENELITIAN
Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan dengan alasan permasalahan penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah hubungan kekeluargaan dalam prosesi mangulosi pada pernikahan adat Batak Toba yang di dalamnya mengandung unsur-unsur nilai dan keyakinan. Peneliti sendiri ikut berperan sebagai pengamat pada setiap prosesi mangulosi (penyematan ulos) pada pernikahan adat Batak yang dilaksanakan di kota Bandung.
Metode Etnografi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif studi etmografi komunikasi, kerena metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan dan membangun hubungan dari kategori-kategori dan data yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari studi etnografi komunikasi untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan perilaku komunikasi dari suatu kelompok sosial, dalam hal ini adalah komunitas batak yang sedang mengikuti pesta adat pernikahan batak Toba. Kuswarno (2008:86).
Tradisi etnografi komunikasi dalam penjelasannya, memandang perilaku komunikasi sebagai perilaku yang lahir dari interaksi tiga keterampilan yang dimiliki setiap individu sebagai mahluk sosial.Ketiga keterampilan itu terdiri dari keterampilan linguistic, keterampilan interaksi dan keterampilan budaya. Kuswarno (2008:18)
Etnografi memulai penelitiannya dengan melihat interaksi antar individu dalam setting alamiahnya, kemudian mengakhirinya dengan menjelaskan pola-pola perilaku yang khas, atau dengan penjelasan perilaku berdasarkan tema kebudayaan yang hidup dalam masyarakat tersebut.Berikut ini beberapa konsep dan teori yang mendukung kajian ini.
Etnografi Komunikasi
Definisi etnografi adalah uraian terperinci mengenai pola-pola kelakuan suatu suku bangsa dalam etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), sedangkan definisi etnografi komunikasi itu sendiri adalah pengkajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya. Kuswarno, (2008:12). Penelitian ini membutuhkan metode etnografi komunikasi dikarenakan,penulis meneliti pola-pola komunikasi dari subjek (orang-orang batak yang hadir di pernikahan adat batak) serta objek (pernikahan adat batak dan prosesi mangulosi).
Prosesi Mangulosi
Mangulosi sebagai salah satu prosesi dalam pernikahan Adat Batak Toba memiliki ketentuan dan keunikan tersendiri. Keunikan dan ketentuan mangulosi pada saat upacara pernikahan Adat Batak Toba bukan hanya dilihat dari satu dimensi saja, tetapi dilihat dari berbagai dimensi, sebab di dalamnya sarat akan makna. Nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam proses mangulosi menjadi penting, sebab hal inilah yang tetap di pertahankan dari dulu hingga kini.
Salah satu rangkaian dalam upacara pernikahan Adat Batak Toba dinamakan Mangulosi atau dalam bahasa Indonesia berarti “menyematkan Ulos”. Mangulosi berarti menyematkan ulos kepada pengantin dan pihak keluarga pengantin laki-laki oleh pihak keluarga pengantin perempuan.Ulos dalam upacara pernikahan adat Batak Toba merupakan perlengkapan yang wajib ada dan mangulosi adalah bagian penting dalam pelaksanaan upacara adat pernikahan Batak Toba (Sihombing, 2000:43).
Proses mangulosi yang dilakukan pertama kali adalah oleh pihak orangtua wanita kepada kedua orangtua pengantin pria, proses tersebut dilakukann setelah kedua orangtua pria memberikan uang pernikahan (mahar) kepada kedua orangtua pengantin wanita. Setelah proses tersebut dilakukan, barulah keluarga dari pihak pengantin wanita yaitu dongantubu (semua saudara dari ayah) memberikan ulos kepada kedua mempelai. Setelah semua telah mangulosi, barulah dari pihak hulahula (semua saudara dari ibu pengantin wanita) memberikan ulos kepada kedua mempelai.Setelah semua selesai, barulah tulang (paman) dari pihak pengantin laki-laki memberikan ulos kepada kedua mempelai. Setelah itu selesailah acara prosesi mangulosi yang di tutup dengan doa bersama.
Pemberian ulos pengantin dalam pernikahan adat batak dimaksudkan agar ikatan batin kedua mempelai seperti rotan (hotang –nama kain ulos yang diberikan kepada kedua mempelai). Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah diselempangkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan laki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan, lalu disatukan ditengan dada seperti terikat.
Budaya Adat Batak Toba
Masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut prinsip keturunan Patrilineal, yang artinya garis keturunan berada pada laki-laki.Menurut hukum adat, pernikahan dapat merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.Pernikahan bagi masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci, maksudnya perpaduan hakekat kehidupan antara laki-laki dan perempuan menjadi satu dan bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga. Pernikahan dalam adat Batak Toba pada asasnya bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, untuk mendapatkan anak sebagai penerus marga (nama belakang keluarga yang diambil dari marga ayah) atau sebagai garis keturunan dari anak laki-laki. Pernikahan juga mempertahankan kehidupan persekutuan setempat, atau masyarakat desa dan persekutuan wilayah selaku kesatuan tata susunan rakyat Batak.

PEMBAHASAN
Menurut Stella Ting-Toomey sebagaimana dikutip Littlejohn (2005:167-168) dalam buku Morissan (2013:273) “face negotiation theory provides a basic for predicting how people will accomplish facework in different cultures” (teori negosiasi muka memberikan dasar bagi kita untuk memperkirakan bagaimana orang melakukan “kerja-muka” dalam berbagai budaya. Kerja-muka atau facework didefinisikan sebagai, “the communication behaviors people use to build and protect their own face and to protect, build, or threaten the face of another person” (perilaku komunikasi yang digunakan orang untuk membangun, dan melindungi muka mereka dan untuk melindungi, membangun atau mengancam muka orang lain). Dua variabel budaya penting berpengaruh terhadap perilaku komunikasi terkait dengan membangun image seseorang.Pertama adalah individualisme-kolektivisme dan yang kedua adalah jarak kekuasaan (power distance).Banyak budaya yang lebih menghormati atau menghargai individu daripada masyarakat atau kelompok.Kebudayaan seperti ini lebih mendukung otonomi, tanggung jawab dan keberhasilan individu dibandingkan kelompok.
Pola perilaku masyarakat batak yang menjalani aktifitas didalamnya memiliki pola-pola perilaku seperti individualis-kolektifis, hal tersebut dapat tercermin pada saat penulis melakukan penelitian pada komunitas-komunitas yang mengadakan perkawinan antar orang batak yang menyertai prosesi adat dalam pernikahannya.Ketika seorang individu merasa tidak menginginkan pernikahan secara adat, individu tersebut mengenyam pola perilaku individualis dalam kelompoknya, sedangkan seorang individu yang merasa bahwa dirinya harus atau sudah menikah dengan disertai adat, individu tersebut memiliki pola perilaku kolektifis dalam kelompoknya.Perilaku komunikasi tersebut dapat tercermin melalui tiga tahapan yang telah diteliti berdasarkan penelitian yang penulis buat, yakni : Pola komunikasi masyarakat batak, nilai dalam prosesi mangulosi, serta keyakinan masyarakat batak terhadap prosesi mangulosi.

Pola Komunikasi Masyarakat Batak (Kajian Etnografi Komunikasi)
Pola komunikasi pada masyarakat batak yang ada dalam prosesi mangulosi di pernikahan adat Batak Toba ini adalah situasi komunikasi (menjelaskan bagaimana situasi komunikasi dalam prosesi adat), peristiwa komunikasi (menjelaskan bagaimana tahapan-tahapan komunikasi yang terjadi pada prosesi mangulosi), setting komunikasi (menjelaskan bagaimana tempat kejadian prosesi mangulosi), pesan komunikasi (menjelaskan bagaimana pesan yang disampaikan dalam prosesi mangulosi) dan varietas bahasa (menjelaskan bahasa apa yang digunakan dalam prosesi mangulosi).
Situasi Komunikasi: Situasi komunikasi yang terjadi dalam prosesi mangulosi di pernikahan adat batak Toba adalah adanya komunikasi interaksi, komunikasi ritual, komunikasi yang berupa verbal maupun nor-verbal. Komunikasi yang berupa interaksi tersebut dilakukan oleh kedua Raja Parhata yang saling berbincang-bincang dan melakukan tanya jawab di hadapan seluruh tamu undangan dan seluruh masyarakat batak yang bersangkutan. Kemudian situasi komunikasi yang selanjutnya adalah ketika seluruh orang yang hendak mangulosi memberikan perkataan terlebih dahulu kepada kedua mempelai agar mendapatkan berkat, setelah itu barulah memberikan ulos kepada kedua mempelai.Komunikasi tersebut dilakukan berdasarkan komunikasi satu arah.Hanya komunikator saja lah atau hanya si penyampai ulos sajalah yang berhak berbicara kepada kedua mempelai, tanpa ada feedback (timbal balik) dari kedua mempelai.Situasi komunikasi selanjutnya ketika kedua orangtua dari pihak pengantin perempuan dan kedua pihak pengantin laki-laki, serta kedua mempelai pernikahan mengucapkan terimakasih kepada seluruh masyarakat dan keluarga batak yang telah ikut berpartisipasi dalam terselenggarakannya pernikahan adat batak ini. Peristiwa Komunikasi: Sebelum prosesi adat mangulosi itu berlangsung, pertama-tama yang dilakukan adalah kedua Raja Parhata saling berkomunikasi membicarakan sinamot (mas kawin) yang belum seluruhnya diberikan dari keluarga laki-laki kepada pihak keluarga wanita, hal ini terjadi menyangkut interaksi yang berlandaskan komunikasi ritual. Komunikasi menurut Mulyana mengandung empat fungsi, salah satu fungsinya adalah komunikasi berfungsi sebagai komunikasi ritual.Komunikasi ritual ini dilakukan secara kolektif, yang artinya komunikasi yang sudah biasa dilakukan oleh upacara-upacara adat pernikahan orang batak lainnya.Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku simbolik.Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, komunitas, suku, bangsa, Negara, ideologi, atau agama. Mulyana (2008:27). Setting Komunikasi: Seluruh tempat kejadian komunikasi dalam prosesi adat mangulosi di pernikahan adat batak tersebut terjadi di dalam gedung pernikahan, sebenarnya pernikahan adat tersebut juga bisa dilakukan di dalam rumah, baik di rumah mempelai perempuan, maupun di rumah mempelai laki-laki.Kedua raja Parhata yang melakukan komunikasi berada dalam posisi berdiri di meja masing-masing, tepatnya di meja panjang yang saling berhadapan antara keluarga mempelai wanita dan mempelai pria.Setiap kedua Raja Parhata hendak berbicara, mereka diwajibkan untuk berdiri, agar terlihat lebih sopan dan teratur.Pesan Komunikasi: Pesan yang disampaikan dari seluruh rangkaian peristiwa komunikasi yang terjadi dalam prosesi mangulosi di pernikahan adat batak meliputi :
a.       Kedua Raja parhata saling berinteraksi menghasilkan pesan komunikasi yakni adanya satu keterkaitan antar keluarga yang berbeda untuk dipersatukan.
b.      Kedua orangtua mempelai perempuan menyematkan ulos kepada kedua orangtua mempelai laki-laki mempunyai pesan bahwa kedua orangtua dari kedua mempelai tersebut telah resmi berbesan.
c.       Ketika kedua orangtua memberikan pesan dan kata-kata bijak dalam membina kehidupan yang baru, dan sebagai kedua orangtua yang hendak melepaskan putrinya, mereka berpesan untuk selalu menjaga hubungan mereka hingga maut memisahkan, dan juga berpesan kepada laki-laki yang telah menjadi suami dari anaknya agar menjaga putri mereka dengan sebaik-baiknya.Varietas Bahasa:  Bahasa yang digunakan dari seluruh rangkaian proses yang berlangsung di pernikahan adat batak toba menggunakan bahasa daerah suku batak Toba.

Nilai dalam Prosesi Mangulosi
Nilai merupakan fitur lain dari suatu budaya. menurut Peoples dan Bailey dalam Samovar (2010:30), nilai merupakan “Kritik atas pemeliharaan budaya secara keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang dipercayai orang yang penting untuk kelanjutan hidup mereka.” Hubungan antara nilai dan budaya begitu kuat, sehingga sulit untuk membahas yang satu tanpa menyinggung yang lain. Seperti yang ditulis Macionis dalam Samovar (2010), nilai adalah “standar keinginan, kebaikan dan keindahan yang diartikan dari budaya yang berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan sosial.”
Pernikahan dengan disertai adat istiadat merupakan salah satu nilai yang sangat berharga bagi budaya khususnya di Indonesia.Nilai tersebut berhubungan dengan segala ritus budaya yang terjadi di dalam adat istiadat tersebut.Prosesi mangulosi pada pesta pernikahan adat batak Toba adalah salah satu adat istiadat yang memiliki nilai yang tinggi bagi orang-orang batak yang bersangkutan di dalamnya. Ketika sepasang pengantin memutuskan untuk menikah dengan disertai adat istiadat dan mengikuti seluruh rangkaian proses mangulosi, maka kedua pasangan tersebut telah menjalankan atau membayar hutang adat perkawinan yang ada pada adat istiadat orang batak, nilai tersebut menjadi sangat tinggi dikarenakan kedua mempelai tersebut dinilai mempunyai nilai adat untuk melanjutkan adat tersebut kepada anak dan cucu mereka kelak. Ada nilai yang begitu berharga ketika kedua orangtua berjalan membawa ulos sampai pada akhirnya menyematkan ulos tersebut, nilainya adalah bahwa kedua orangtua membawa sebait doa kepada kedua mempelai terutama kepada putri mereka yang telah dipinang oleh suaminya lewat kain ulos yang mereka berikan kepada kedua mempelai, kedua orangtua mempelai wanita melepaskan putri kecil mereka yang sekarang telah tumbuh dewasa hingga timbullah pola masyarakat batak yang menyentuh karena terharu akan proses mangulosi antara kedua orangtua kepada kedua mempelai tersebut.Karena sifatnya yang umum, luas dan tidak konkret, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka.itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional. Koentjaraningrat (1990:190)

Keyakinan Masyarakat Batak Terhadap Prosesi Mangulosi
Terdapatnya keyakinan-keyakinan yang terkandung saat prosesi mangulosi itu terjadi membuat para sebagian orang batak bertahan untuk menjalani adat istiadat mangulosi dalam pesta pernikahan adat batak Toba.Keyakinan kain ulos pada zaman dahulu adalah kain ulos sebagai alat yang sakral dan dijadikan berhala bagi orang-orang batak yang masih menganut animisme.Pada zaman dahulu, orang Batak di daerah Tapanuli mempercayai lahirnya ulos sebagai benda yang mempunyai nilai sakral dan mistis yang erat hubungannya dengan kepercayaan asli nenek moyang dari Suku Batak.Menurut kepercayaan manusia dalam banyak kebudayaan di dunia, bahwa di luar dunia yang tampak ini terdapat alam gaib yang didiami oleh berbagai mahluk dan kekuatan yang tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa, oleh karena itu ditakuti manusia.Mahluk dan kekuatan yang menempati alam gaib itu terdiri dari dewa-dewa, mahluk halus (roh-roh leluhur, hantu dan lain sebagainya) serta kekuatan sakti.
Beberapa informan mempercayai bahwa kekuatan sakral yang dimiliki oleh kain ulos itu hanyalah sebagaian dari kepercayaan orang Batak pada zaman dahulu. Saat ini, orang Batak yang kebanyakan tinggal di kota hanya mempercayai ulos sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan, dan menjadikan Tuhan sebagai nilai kepercayaan tertinggi dari segalanya, baik didalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam kehidupan sosial adat Budaya Batak Toba.

SIMPULAN
Pemaparan paper ilmiah berdasarkan hasil kajian studi etnografi kualitatif ini, dapat diambil kesimpulan bahwa : (1) Pola perilaku masyarakat Batak Toba dalam prosesi mangulosi memiliki peran dan kerja masing-masing karena semuanya telah diatur dalam komunikasi ritual adat Batak. Perilaku yang terjadi adalah mereka pada umumnya tetap mengikuti prosesi mangulosi dengan baik serumit dan sepanjang apapun prosesnya. Melalui studi etnografi komunikasi, peneliti dapat melihat bahwa pola perilaku masyarakat Toba cenderung kokoh akan adat istiadat sekalipun sudah tinggal di era modernisasi. (2) Pola perilaku masyarakat batak Toba dalam menyikapi nilai-nilai yang bersangkutan mengenai prosesi mangulosi ternyata memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi, khususnya pada pandangan mereka terhadap pentingnya prosesi mangulosi tersebut karena mangulosi adalah suatu bagian dari adat budaya suku batak yang patut dilestarikan.(3) Pola perilaku masyarakat batak Toba dalam menyikapi keyakinan-keyakinan yang timbul dalam prosesi mangulosi tersebut memunculkan keyakinan yang berbeda-beda dari setiap individunya, ada yang masih tetap mempercayai bahwa kain ulos yang diberikan mengandung berkat yang melimpah bagi kedua mempelai, namun ada juga yang kepercayaannya telah berubah bahwa, kain ulos yang diberikan hanyalah sekedar adat istiadat yang indah dan patut dilestarikan, ulos yang diberikan hanyalah bukti pemberian kasih sayang bagi kedua mempelai.

DAFTAR REFERENSI
[1] Adonis, T. dan Hilderia. 1993. Perkawinan Adat Batak di Kota Besar.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung.
[2] Dakung, S. 1982. Ulos. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
[3] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. PT Rineka Cipta. Jakarta.
[4] Kuswarno, E. 2008. Etnografi Komunikasi. Widya Padjajaran. Bandung.
[5] Morrisan. 2013. Teori Komunikasi – Individu Hingga Massa. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
[6] Mulyana, D. 2008. Ilmu Komunikasi – Suatu Pengantar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
[7] Mulyana, D. dan Rakhmat, J. 2005. Komunikasi Antar Budaya. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
[8] Samovar, L.A dan Porter, R.E. 2014. Komunikasi Lintas Budaya. Salemba Humanika. Jakarta.
[9] West, R. dan Turner, L.H. 2010. Pengantar Teori Komunikasi – Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika. Jakarta.
 
Biodata Penulis
Destien Mistavakia Sirait, Lahir di Bandung, 26 Agustus 1991. Menamatkan pendidikan S1 di bidang Ilmu Komunikasi (Broadcasting) tahun 2014, di Universitas BSI Bandung.Sekarang bekerja sebagai Dosen Instruktur Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas BSI Bandung sejak Maret, 2015.