ETNOGRAFI KOMUNIKASI PADA PROSESI MANGULOSI DALAM PERNIKAHAN BUDAYA ADAT BATAK TOBA
Destien Mistavakia Sirait
Program Studi
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas BSI, Bandung, Indonesia
E-mail : destinmista@gmail.com
Abstract : Ulos
as an important thing in Batak marriage, so the focus of this research is the
mangulosi process (ulos pinning) in Batak Toba marital culture, in the process
of mangulosi, there’s a values and belief that contained in it. The genre of
this research is a qualitative with ethnography study which made the writer
should do the research deeper with observation and an in depth interview. The
paradigm that used in this research is constructivism paradigm that is
inspected with face negotiation theory. The result of this research is that the
mangulosi process in batak toba marital culture is happened by the
communication behavior of batak peoples, the pattern of the communication is
bound to the communication situation, communication event, communication
setting, communication message and language variety whom being used in that
cultural process. The values that contained in mangulosi process resulting the
differences of the batak people behavior toward their peoples who married
following the culture and not through the face negotiation theory, and the
belief that contained behind the values that happened in every mangulosi
process, whether the one in ulos sheet or in all of the communication process
that occurred on batak toba marriage culture.
Abstrak
:Ulos
sebagai hal penting dalam suku Batak, sehingga fokus penelitian ini adalah
prosesi mangulosi (penyematan ulos) dalam pernikahan adat Batak Toba, dari
proses mangulosi tersebut, muncul nilai-nilai serta keyakinan yang terkandung
di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan
studi etnografi yang mengharuskan peneliti meneliti lebih dalam dengan cara
observasi dan wawancara mendalam, paradigma yang digunakan adalah
konstruktivisme yang dikaji dengan teori face
negotiation atau teori negosiasi wajah. Hasil penelitian ini adalah
terjadinya prosesi mangulosi dalam pernikahan adat batak yang dihasilkan dari
pola perilaku komunikasi oleh masyarakat batak, pola komunikasi tersebut
terkait dengan situasi komunikasi, peristiwa komunikasi, setting komunikasi,
pesan komunikasi dan varietas bahasa yang digunakan dalam prosesi adat
tersebut. Nilai yang terkandung pada setiap prosesi mangulosi menghasilkan
perbedaan perilaku masyarakat batak terhadap orang yang telah menikah secara
adat dan orang yang tidak menikah secara adat lewat teori negosiasi wajah (face negotiation theory), serta
keyakinan yang terkandung dibalik nilai-nilai yang terjadi pada setiap prosesi
mangulosi, baik nilai terhadap kain ulos maupun terhadap seluruh rangkaian peristiwa
komunikasi yang terjadi pada pernikahan adat batak Toba.
Kata
kunci: Pernikahan, Mangulosi, Budaya Adat Batak, Pola Komunikasi
PENDAHULUAN
Pesta pernikahan adat
Batak identik dengan kain Ulos yang
memiliki peran penting pada prosesi pernikahan, serta memiliki makna yang
sangat mendalam bagi kedua belah pihak keluarga yang mengadakan pesta adat
tersebut.Mangulosi atau dalam bahasa
Indonesia berarti “menyematkan Ulos”,
adalah salah satu ritual pemberian Ulosterhadap
pengantin. Pemberian Ulospada dasarnya
haruslah dilakukan pada orang-orang yang telah menikah secara adat Batak pula,
dalam prosesi mangulosi ini, ada yang disebut hula-hula yaitu Tulang/Pamanataupun Bapak Tua (dari pihak keluarga
wanita) yang wajib memberikan Ulostersebut
untuk disematkan kepada kedua mempelai pernikahan. Ulos dalam pernikahan adat Batak Toba merupakan perlengkapan yang
wajib ada, dan mangulosi adalah bagian penting dalam pelaksanaan upacara adat
pernikahan yang tidak dapat dipisahkan dari suku Batak.
Pada zaman dahulu orang
Batak pantang atau tabu apabila
menikah dengan tidak disertai adat istiadat, hal itu disebabkan karena mereka
mengetahui adat istiadat yang begitu kental, serta mereka begitu menghormati
leluhur mereka yang telah membuat budaya dan adat istiadat Batak. Ketika
perubahan zaman itu
terjadi, budaya semakin memudar
dan kain Ulos-pun tidak disampaikan
hingga anak cucu
dikarenakan banyaknya orang Batak
yang sudah memudarkan adat istiadat pernikahan batak, memudarnya adat istiadat
tersebut tidak hanya karena orang batak yang sudah tidak lagi merespon dengan
baik suatu adat, melainkan oleh karena
kepercayaan-kepercayaan tertentu, misalnya karena kepercayaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, membuat
beberapa orang batak tidak lagi meyakini prosesi mangulosi dalam pernikahan
adat batak yang dahulu sangat kental dengan persembahan roh-roh leluhurnya,
namun di balik semuanya itu masih banyak orang Batak yang percaya kepada Tuhan,
namun mereka tetap menghormati adat istiadat dalam prosesi mangulosi di
pernikahan adat Batak dengan cara mempercayai bahwa Tuhan-lah yang memberikan
berkat, bukan roh leluhur melalui kain ulos tersebut.
Acara adat dalam
prosesi pernikahan pada suku Batak memang terkadang menjadi batu sandungan bagi
pasangan batak yang tidak menikah tanpa melalui prosesi adat, hal itu terkadang
dapat dimaklumi oleh beberapa orang, namun mereka menjadi merasa tidak mempunyai
andil apa-apa saat saudaranya menikah dengan adat batak sementara mereka hanya
duduk diam saja menonton di kursi tamu. Memang suatu adat tidak dapat
sembarangan diubah, karena hal itu adalah suatu perilaku yang telah diturunkan
dari nenek moyang kita hingga saat ini.Namun akhir-akhir ini atau pada jaman
modern seperti sekarang, banyak ditemukannya orang yang belum menikah secara
adat, namun dapat mengikuti acara pernikahan adat saudaranya baik satu marga
atau berbeda marga.Hal inilah yang menjadi bagian dari ‘memudarnya keaslian
budaya’ yang seharusnya terlestarikan dengan utuh.
Usaha untuk membangun
ritus perkawinan Batak Toba tidak dapat dipisahkan dari usaha menggali
nilai-nilai dan keyakinan yang terkandung dalam ritus perkawinan adat Batak
Toba itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa usaha ini tak akan tercapai tanpa
adanya sebuah dialog antara kedua belah pihak keluarga yang akan saling
melangsungkan pernikahan adat batak yang tentunya berbeda marga. Komunikasi
yang berlangsung selama prosesi perkawinan adat Batak tersebut-pun memiliki dua
bagian, yakni komunikasi dua arah, yaitu komunikasi yang terjalin antara sesama
Raja Parhata (pemimpin adat) dari pihak keluarga pria dan dari pihak keluarga
wanita, serta komunikasi satu arah, yaitu dari pemimpin rombongan keluarga yang
hendak mangulosi (menyematkan ulos) kepada kedua mempelai pernikahan.
Komunikasi tersebut terjadi agar seluruh proses adat mangulosi berjalan dengan
baik, dan seluruh komunikasi tersebut dapat meghasilkan makna dan nilai tersendiri
bagi masyarakat batak khususnya bagi kedua mempelai.
Komunikasi sangatlah
penting bagi semua aspek kehidupan manusia, terutama dalam hal membicarakan
suatu pernikahan adat Batak Toba ini, dengan komunikasi manusia dapat
mengekspresikan perasaan, gagasan, dan harapan kepada sesama manusia yang
diajak berkomunikasi tersebut. Komunikasi tidak hanya mendorong perkembangan
kemanusiaan yang utuh, namun juga menciptakan hubungan sosial yang sangat
diperlukan dalam kelompok sosial apapun. Komunikasi memungkinkan terjadinya
kerja sama sosial, membuat kesepakatan-kesepakatan penting, dan lain-lain.
Individu yang terlibat dalam proses
komunikasi memiliki latar belakang sosial, budaya dan pengalaman psikologis
yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang dapat mempengaruhi efektifitas sebuah
proses komunikasi. Sangat penting bagi setiap individu untuk memahami
simbol-simbol yang digunakan dalam setiap proses komunikasi yang melibatkan dua
orang atau lebih.
METODE PENELITIAN
Penulisan
artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan dengan alasan permasalahan penelitian
yang dikaji dalam penelitian ini adalah hubungan kekeluargaan dalam prosesi
mangulosi pada pernikahan adat Batak Toba yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur nilai dan keyakinan. Peneliti sendiri ikut berperan sebagai
pengamat pada setiap prosesi mangulosi (penyematan ulos) pada pernikahan adat
Batak yang dilaksanakan di kota Bandung.
Metode
Etnografi
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif studi etmografi
komunikasi, kerena metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan dan membangun
hubungan dari kategori-kategori dan data yang ditemukan. Hal
ini sesuai dengan tujuan dari studi etnografi komunikasi untuk menggambarkan,
menganalisis dan menjelaskan perilaku komunikasi dari suatu kelompok sosial,
dalam hal ini adalah komunitas batak yang sedang mengikuti pesta adat
pernikahan batak Toba. Kuswarno (2008:86).
Tradisi
etnografi komunikasi dalam penjelasannya, memandang perilaku komunikasi sebagai
perilaku yang lahir dari interaksi tiga keterampilan yang dimiliki setiap
individu sebagai mahluk sosial.Ketiga keterampilan itu terdiri dari
keterampilan linguistic, keterampilan
interaksi dan keterampilan budaya. Kuswarno (2008:18)
Etnografi
memulai penelitiannya dengan melihat interaksi antar individu dalam setting alamiahnya, kemudian
mengakhirinya dengan menjelaskan pola-pola perilaku yang khas, atau dengan
penjelasan perilaku berdasarkan tema kebudayaan yang hidup dalam masyarakat
tersebut.Berikut ini beberapa konsep dan teori yang mendukung kajian ini.
Etnografi Komunikasi
Definisi
etnografi adalah uraian terperinci mengenai pola-pola kelakuan suatu suku
bangsa dalam etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), sedangkan definisi
etnografi komunikasi itu sendiri adalah pengkajian peranan bahasa dalam
perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa
dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya. Kuswarno,
(2008:12). Penelitian ini membutuhkan metode etnografi komunikasi
dikarenakan,penulis meneliti pola-pola komunikasi dari subjek (orang-orang batak
yang hadir di pernikahan adat batak) serta objek (pernikahan adat batak dan
prosesi mangulosi).
Prosesi Mangulosi
Mangulosi
sebagai salah satu prosesi dalam pernikahan Adat Batak Toba memiliki ketentuan
dan keunikan tersendiri. Keunikan dan ketentuan mangulosi pada saat upacara
pernikahan Adat Batak Toba bukan hanya dilihat dari satu dimensi saja, tetapi
dilihat dari berbagai dimensi, sebab di dalamnya sarat akan makna. Nilai-nilai
dan makna yang terkandung dalam proses mangulosi menjadi penting, sebab hal
inilah yang tetap di pertahankan dari dulu hingga kini.
Salah
satu rangkaian dalam upacara pernikahan Adat Batak Toba dinamakan Mangulosi
atau dalam bahasa Indonesia berarti “menyematkan Ulos”. Mangulosi berarti
menyematkan ulos kepada pengantin dan pihak keluarga pengantin laki-laki oleh
pihak keluarga pengantin perempuan.Ulos dalam upacara pernikahan adat Batak
Toba merupakan perlengkapan yang wajib ada dan mangulosi adalah bagian penting
dalam pelaksanaan upacara adat pernikahan Batak Toba (Sihombing, 2000:43).
Proses
mangulosi yang dilakukan pertama kali adalah oleh pihak orangtua wanita kepada
kedua orangtua pengantin pria, proses tersebut dilakukann setelah kedua
orangtua pria memberikan uang pernikahan (mahar) kepada kedua orangtua
pengantin wanita. Setelah proses tersebut dilakukan, barulah keluarga dari
pihak pengantin wanita yaitu dongantubu
(semua saudara dari ayah) memberikan ulos kepada kedua mempelai. Setelah semua
telah mangulosi, barulah dari pihak hulahula (semua saudara dari ibu pengantin
wanita) memberikan ulos kepada kedua mempelai.Setelah semua selesai, barulah
tulang (paman) dari pihak pengantin laki-laki memberikan ulos kepada kedua
mempelai. Setelah itu selesailah acara prosesi mangulosi yang di tutup dengan
doa bersama.
Pemberian
ulos pengantin dalam pernikahan adat batak dimaksudkan agar ikatan batin kedua
mempelai seperti rotan (hotang –nama kain ulos yang diberikan kepada kedua
mempelai). Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah diselempangkan dari
sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan laki-laki, dan
ujung sebelah kiri oleh perempuan, lalu disatukan ditengan dada seperti
terikat.
Budaya Adat Batak Toba
Masyarakat
Batak Toba pada umumnya menganut prinsip keturunan Patrilineal, yang artinya
garis keturunan berada pada laki-laki.Menurut hukum adat, pernikahan dapat
merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat,
tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.Pernikahan bagi
masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci, maksudnya perpaduan hakekat
kehidupan antara laki-laki dan perempuan menjadi satu dan bukan sekedar
membentuk rumah tangga dan keluarga. Pernikahan dalam adat Batak Toba pada
asasnya bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, untuk
mendapatkan anak sebagai penerus marga (nama belakang keluarga yang diambil
dari marga ayah) atau sebagai garis keturunan dari anak laki-laki. Pernikahan
juga mempertahankan kehidupan persekutuan setempat, atau masyarakat desa dan
persekutuan wilayah selaku kesatuan tata susunan rakyat Batak.
PEMBAHASAN
Menurut Stella Ting-Toomey
sebagaimana dikutip Littlejohn (2005:167-168) dalam buku Morissan (2013:273) “face negotiation theory provides a basic for
predicting how people will accomplish facework in different cultures”
(teori negosiasi muka memberikan dasar bagi kita untuk memperkirakan bagaimana
orang melakukan “kerja-muka” dalam berbagai budaya. Kerja-muka atau facework didefinisikan sebagai, “the communication behaviors people use to
build and protect their own face and to protect, build, or threaten the face of
another person” (perilaku komunikasi yang digunakan orang untuk membangun,
dan melindungi muka mereka dan untuk melindungi, membangun atau mengancam muka
orang lain). Dua variabel budaya penting berpengaruh terhadap perilaku
komunikasi terkait dengan membangun image seseorang.Pertama adalah
individualisme-kolektivisme dan yang kedua adalah jarak kekuasaan (power distance).Banyak budaya yang lebih
menghormati atau menghargai individu daripada masyarakat atau
kelompok.Kebudayaan seperti ini lebih mendukung otonomi, tanggung jawab dan
keberhasilan individu dibandingkan kelompok.
Pola perilaku masyarakat batak yang
menjalani aktifitas didalamnya memiliki pola-pola perilaku seperti
individualis-kolektifis, hal tersebut dapat tercermin pada saat penulis
melakukan penelitian pada komunitas-komunitas yang mengadakan perkawinan antar
orang batak yang menyertai prosesi adat dalam pernikahannya.Ketika seorang
individu merasa tidak menginginkan pernikahan secara adat, individu tersebut
mengenyam pola perilaku individualis dalam kelompoknya, sedangkan seorang
individu yang merasa bahwa dirinya harus atau sudah menikah dengan disertai
adat, individu tersebut memiliki pola perilaku kolektifis dalam kelompoknya.Perilaku
komunikasi tersebut dapat tercermin melalui tiga tahapan yang telah diteliti
berdasarkan penelitian yang penulis buat, yakni : Pola komunikasi masyarakat
batak, nilai dalam prosesi mangulosi, serta keyakinan masyarakat batak terhadap
prosesi mangulosi.
Pola
Komunikasi Masyarakat Batak (Kajian
Etnografi Komunikasi)
Pola
komunikasi pada masyarakat batak yang ada dalam prosesi mangulosi di pernikahan
adat Batak Toba ini adalah situasi komunikasi (menjelaskan bagaimana situasi
komunikasi dalam prosesi adat), peristiwa komunikasi (menjelaskan bagaimana
tahapan-tahapan komunikasi yang terjadi pada prosesi mangulosi), setting komunikasi (menjelaskan
bagaimana tempat kejadian prosesi mangulosi), pesan komunikasi (menjelaskan
bagaimana pesan yang disampaikan dalam prosesi mangulosi) dan varietas bahasa
(menjelaskan bahasa apa yang digunakan dalam prosesi mangulosi).
Situasi Komunikasi: Situasi
komunikasi yang terjadi dalam prosesi mangulosi di pernikahan adat batak Toba
adalah adanya komunikasi interaksi, komunikasi ritual, komunikasi yang berupa
verbal maupun nor-verbal. Komunikasi yang berupa interaksi tersebut dilakukan
oleh kedua Raja Parhata yang saling berbincang-bincang dan melakukan tanya
jawab di hadapan seluruh tamu undangan dan seluruh masyarakat batak yang
bersangkutan. Kemudian situasi komunikasi yang selanjutnya adalah ketika
seluruh orang yang hendak mangulosi memberikan perkataan terlebih dahulu kepada
kedua mempelai agar mendapatkan berkat, setelah itu barulah memberikan ulos
kepada kedua mempelai.Komunikasi tersebut dilakukan berdasarkan komunikasi satu
arah.Hanya komunikator saja lah atau hanya si penyampai ulos sajalah yang
berhak berbicara kepada kedua mempelai, tanpa ada feedback (timbal balik) dari kedua mempelai.Situasi komunikasi
selanjutnya ketika kedua orangtua dari pihak pengantin perempuan dan kedua
pihak pengantin laki-laki, serta kedua mempelai pernikahan mengucapkan
terimakasih kepada seluruh masyarakat dan keluarga batak yang telah ikut
berpartisipasi dalam terselenggarakannya pernikahan adat batak ini. Peristiwa
Komunikasi: Sebelum
prosesi adat mangulosi itu berlangsung, pertama-tama yang dilakukan adalah
kedua Raja Parhata saling berkomunikasi membicarakan sinamot (mas kawin) yang
belum seluruhnya diberikan dari keluarga laki-laki kepada pihak keluarga
wanita, hal ini terjadi menyangkut interaksi yang berlandaskan komunikasi
ritual. Komunikasi menurut Mulyana mengandung empat fungsi, salah satu
fungsinya adalah komunikasi berfungsi sebagai komunikasi ritual.Komunikasi
ritual ini dilakukan secara kolektif, yang artinya komunikasi yang sudah biasa
dilakukan oleh upacara-upacara adat pernikahan orang batak lainnya.Dalam
acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku
simbolik.Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut
menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, komunitas, suku,
bangsa, Negara, ideologi, atau agama. Mulyana (2008:27). Setting
Komunikasi: Seluruh
tempat kejadian komunikasi dalam prosesi adat mangulosi di pernikahan adat
batak tersebut terjadi di dalam gedung pernikahan, sebenarnya pernikahan adat
tersebut juga bisa dilakukan di dalam rumah, baik di rumah mempelai perempuan,
maupun di rumah mempelai laki-laki.Kedua raja Parhata yang melakukan komunikasi
berada dalam posisi berdiri di meja masing-masing, tepatnya di meja panjang
yang saling berhadapan antara keluarga mempelai wanita dan mempelai pria.Setiap
kedua Raja Parhata hendak berbicara, mereka diwajibkan untuk berdiri, agar
terlihat lebih sopan dan teratur.Pesan
Komunikasi: Pesan yang disampaikan dari seluruh rangkaian peristiwa
komunikasi yang terjadi dalam prosesi mangulosi di pernikahan adat batak
meliputi :
a.
Kedua
Raja parhata saling berinteraksi menghasilkan pesan komunikasi yakni adanya
satu keterkaitan antar keluarga yang berbeda untuk dipersatukan.
b.
Kedua
orangtua mempelai perempuan menyematkan ulos kepada kedua orangtua mempelai
laki-laki mempunyai pesan bahwa kedua orangtua dari kedua mempelai tersebut
telah resmi berbesan.
c.
Ketika
kedua orangtua memberikan pesan dan kata-kata bijak dalam membina kehidupan
yang baru, dan sebagai kedua orangtua yang hendak melepaskan putrinya, mereka
berpesan untuk selalu menjaga hubungan mereka hingga maut memisahkan, dan juga
berpesan kepada laki-laki yang telah menjadi suami dari anaknya agar menjaga
putri mereka dengan sebaik-baiknya.Varietas
Bahasa: Bahasa yang digunakan dari
seluruh rangkaian proses yang berlangsung di pernikahan adat batak toba
menggunakan bahasa daerah suku batak Toba.
Nilai
dalam Prosesi Mangulosi
Nilai
merupakan fitur lain dari suatu budaya. menurut Peoples dan Bailey dalam
Samovar (2010:30), nilai merupakan “Kritik atas pemeliharaan budaya secara
keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang dipercayai orang yang penting
untuk kelanjutan hidup mereka.” Hubungan antara nilai dan budaya begitu kuat,
sehingga sulit untuk membahas yang satu tanpa menyinggung yang lain. Seperti
yang ditulis Macionis dalam Samovar (2010), nilai adalah “standar keinginan,
kebaikan dan keindahan yang diartikan dari budaya yang berfungsi sebagai
petunjuk dalam kehidupan sosial.”
Pernikahan
dengan disertai adat istiadat merupakan salah satu nilai yang sangat berharga
bagi budaya khususnya di Indonesia.Nilai tersebut berhubungan dengan segala
ritus budaya yang terjadi di dalam adat istiadat tersebut.Prosesi mangulosi
pada pesta pernikahan adat batak Toba adalah salah satu adat istiadat yang
memiliki nilai yang tinggi bagi orang-orang batak yang bersangkutan di
dalamnya. Ketika sepasang pengantin memutuskan untuk menikah dengan disertai
adat istiadat dan mengikuti seluruh rangkaian proses mangulosi, maka kedua
pasangan tersebut telah menjalankan atau membayar hutang adat perkawinan yang
ada pada adat istiadat orang batak, nilai tersebut menjadi sangat tinggi dikarenakan
kedua mempelai tersebut dinilai mempunyai nilai adat untuk melanjutkan adat
tersebut kepada anak dan cucu mereka kelak. Ada nilai yang begitu berharga
ketika kedua orangtua berjalan membawa ulos sampai pada akhirnya menyematkan
ulos tersebut, nilainya adalah bahwa kedua orangtua membawa sebait doa kepada
kedua mempelai terutama kepada putri mereka yang telah dipinang oleh suaminya
lewat kain ulos yang mereka berikan kepada kedua mempelai, kedua orangtua
mempelai wanita melepaskan putri kecil mereka yang sekarang telah tumbuh dewasa
hingga timbullah pola masyarakat batak yang menyentuh karena terharu akan
proses mangulosi antara kedua orangtua kepada kedua mempelai tersebut.Karena
sifatnya yang umum, luas dan tidak konkret, maka nilai-nilai budaya dalam suatu
kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang
menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.Para individu itu sejak kecil telah
diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga
konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka.itulah
sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan
nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat, dengan cara
mendiskusikannya secara rasional. Koentjaraningrat (1990:190)
Keyakinan
Masyarakat Batak Terhadap Prosesi Mangulosi
Terdapatnya
keyakinan-keyakinan yang terkandung saat prosesi mangulosi itu terjadi membuat
para sebagian orang batak bertahan untuk menjalani adat istiadat mangulosi
dalam pesta pernikahan adat batak Toba.Keyakinan kain ulos pada zaman dahulu
adalah kain ulos sebagai alat yang sakral dan dijadikan berhala bagi
orang-orang batak yang masih menganut animisme.Pada zaman dahulu, orang Batak
di daerah Tapanuli mempercayai lahirnya ulos sebagai benda yang mempunyai nilai
sakral dan mistis yang erat hubungannya dengan kepercayaan asli nenek moyang
dari Suku Batak.Menurut kepercayaan manusia dalam banyak kebudayaan di dunia,
bahwa di luar dunia yang tampak ini terdapat alam gaib yang didiami oleh berbagai
mahluk dan kekuatan yang tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara
biasa, oleh karena itu ditakuti manusia.Mahluk dan kekuatan yang menempati alam
gaib itu terdiri dari dewa-dewa, mahluk halus (roh-roh leluhur, hantu dan lain
sebagainya) serta kekuatan sakti.
Beberapa
informan mempercayai bahwa kekuatan sakral yang dimiliki oleh kain ulos itu
hanyalah sebagaian dari kepercayaan orang Batak pada zaman dahulu. Saat ini,
orang Batak yang kebanyakan tinggal di kota hanya mempercayai ulos sebagai
warisan budaya yang patut dilestarikan, dan menjadikan Tuhan sebagai nilai
kepercayaan tertinggi dari segalanya, baik didalam kehidupan sehari-hari,
maupun dalam kehidupan sosial adat Budaya Batak Toba.
SIMPULAN
Pemaparan
paper ilmiah berdasarkan hasil kajian studi etnografi kualitatif ini, dapat
diambil kesimpulan bahwa : (1) Pola perilaku masyarakat Batak Toba dalam
prosesi mangulosi memiliki peran dan kerja masing-masing karena semuanya telah
diatur dalam komunikasi ritual adat Batak. Perilaku yang terjadi adalah mereka
pada umumnya tetap mengikuti prosesi mangulosi dengan baik serumit dan
sepanjang apapun prosesnya. Melalui studi etnografi komunikasi, peneliti dapat
melihat bahwa pola perilaku masyarakat Toba cenderung kokoh akan adat istiadat
sekalipun sudah tinggal di era modernisasi. (2) Pola perilaku masyarakat batak
Toba dalam menyikapi nilai-nilai yang bersangkutan mengenai prosesi mangulosi
ternyata memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi, khususnya pada pandangan
mereka terhadap pentingnya prosesi mangulosi tersebut karena mangulosi adalah
suatu bagian dari adat budaya suku batak yang patut dilestarikan.(3) Pola
perilaku masyarakat batak Toba dalam menyikapi keyakinan-keyakinan yang timbul
dalam prosesi mangulosi tersebut memunculkan keyakinan yang berbeda-beda dari
setiap individunya, ada yang masih tetap mempercayai bahwa kain ulos yang
diberikan mengandung berkat yang melimpah bagi kedua mempelai, namun ada juga
yang kepercayaannya telah berubah bahwa, kain ulos yang diberikan hanyalah
sekedar adat istiadat yang indah dan patut dilestarikan, ulos yang diberikan
hanyalah bukti pemberian kasih sayang bagi kedua mempelai.
DAFTAR
REFERENSI
[1]
Adonis, T. dan Hilderia. 1993. Perkawinan
Adat Batak di Kota Besar.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung.
[2] Dakung, S. 1982. Ulos. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
[3] Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi. PT
Rineka Cipta. Jakarta.
[4] Kuswarno, E. 2008.
Etnografi Komunikasi. Widya
Padjajaran. Bandung.
[5]
Morrisan. 2013. Teori Komunikasi –
Individu Hingga Massa. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
[6]
Mulyana, D. 2008. Ilmu Komunikasi – Suatu
Pengantar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
[7]
Mulyana, D. dan Rakhmat, J. 2005. Komunikasi
Antar Budaya. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
[8]
Samovar, L.A dan Porter, R.E. 2014. Komunikasi
Lintas Budaya. Salemba Humanika. Jakarta.
[9]
West, R. dan Turner, L.H. 2010. Pengantar
Teori Komunikasi – Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika. Jakarta.
Biodata
Penulis
Destien
Mistavakia Sirait, Lahir
di Bandung, 26 Agustus 1991. Menamatkan pendidikan S1 di bidang Ilmu Komunikasi
(Broadcasting) tahun 2014, di
Universitas BSI Bandung.Sekarang bekerja sebagai Dosen Instruktur Fakultas Ilmu
Komunikasi di Universitas BSI Bandung sejak Maret, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar